Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menargetkan penurunan angka kemiskinan di tahun 2020 menjadi 9,81 persen. Langkah strategis telah disusun, untuk mewujudkan target single digit hingga tahun 2023 menjadi tujuh persen.

Hal ini diungkapkan Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi Jawa Tengah, Prasetyo Aribowo. Menurutnya, pada 2019 lalu Pemprov Jateng berhasil mencapai target penurunan kemiskinan.

“Tahun 2019 sesuai RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) targetnya 10,57 persen, sedangkan realisasinya 10,58 persen. Kurang 0,001 persen,” tutur Prasetyo yang juga Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Tengah, saat Konferensi Pers di Gedung A Lantai 1 Kantor Gubernur Jateng, Rabu (22/1/2020).

Untuk mencapai target tersebut, ujarnya, upaya keroyokan antar instansi dan masyarakat serta pelaku dunia usaha mutlak diperlukan. Yang kini telah berjalan di antaranya, penggratisan Sumbangan Pembinaan Pendidikan dan program Satu Perangkat Daerah Satu Desa Binaan.

“Rencana konkretnya adalah mengurangi beban pengeluaran masyarakat. Strateginya adalah dengan bantuan Bosda untuk upaya pendidikan gratis bagi siswa SMA, SMK dan SLB Negeri. Adapula bantuan untuk Madrasah Aliyah swasta. Itu contoh upaya mendorong penurunan angka kemiskinan di daerah,” terang Prasetyo.

Selain itu, adapula upaya mengintervensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dengan pelatihan akses pasar.

Kabid Pemerintahan dan Sosial Budaya Bappeda Jateng Edi Wahyono menambahkan, aparatur desa perlu ambil bagian dalam usaha pengentasan kemiskinan. Apalagi angka orang miskin di perdesaan lebih banyak dibandingkan kota.

Ditambahkan, data TKPKD Pemprov Jateng menunjukan, angka orang miskin di perdesaan mencapai 12,26 persen, sedangkan di kota hanya 8,99 persen. Adapun, jumlah orang miskin di perdesaan kini 2,08 juta orang, berkurang 32,11 ribu orang dari sebelumnya, 2,11 juta orang.

Sementara, jumlah orang miskin di perkotaan berkurang sebanyak 31,70 ribu orang. Sehingga jumlah orang miskin di kota sekarang adalah 1,60 juta orang, dari sebelumnya 1,63 juta orang. Mereka yang berpredikat miskin, baik di kota maupun di desa adalah mereka yang bekerja sebagai buruh tani, petani tanpa lahan, buruh industri kecil, kuli bangunan, pedagang asongan, dan pekerja serabutan.

“Dana desa perlu lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur pertanian yang mendorong pengentasan kemiskinan di desa,” kata dia.

Edi menambahkan, program satu perangkat daerah satu desa binaan perlu diperluas. Artinya, pelaku pembina atau pendamping desa bisa berasal dari instansi selain dinas di provinsi. Pihak swasta juga dituntut menyukseskan program ini. Selain itu, ia meminta agar pemutakhiran data orang miskin dilakukan dengan tepat.

“Data yang tepat akan memengaruhi efektivitas penanggulangan kemiskinan di desa-desa. Oleh karenanya dengan adanya program satu SKPD satu desa binaan, turut membenahi data tersebut. Selain itu, aparat desa juga dituntut melakukan verifikasi dan validasi yang benar terhadap data orang miskin di desa-desa,” jelasnya.

Data, tutur Edi dianggap berperan, karena selama ini masih terdapat Inclution Error dan Extention Error pada data tersebut. Ini artinya, banyak orang yang seharusnya tak mendapat bantuan justru memperoleh, dan sebaliknya.

Menurutnya, di Provinsi Jateng ada 14 kabupaten yang masuk dalam zona merah kemiskinan. Kategori tersebut, karena jumlah orang miskin di atas rata-rata provinsi dan nasional. Sementara, sembilan kabupaten lain, masuk dalam zona kuning, karena dibawah rerata jumlah orang miskin di provinsi, namun di atas nasional. Adapun, 12 kabupaten lain berada di zona hijau.

Perlu diketahui, Pemprov Jateng berhasil mengentaskan 63.830 orang dari jurang kemiskinan (periode Maret-September 2019).

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *